SEMARANG – Indonesia diyakini masih membutuhkan minyak dan gas (migas) untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Untuk menggiatkan investasi hulu migas, perlu dibentuk badan khusus di luar pemerintah yang melakukan pengaturan, pengurusan dan pengawasan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan migas yang dilandasi peraturan perundang-perundangan.
“Di masa depan perlu dipastikan kontrak kerjasama dengan KKKS dilakukan oleh badan khusus independen, bukan dengan pemerintah. Tujuannya, agar segala risiko bisnis tidak terkena kepada negara,” kata Purnomo Yusgiantoro, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam Forum Group Discusion(FGD) Tata Kelola Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagai Lokomotif Ekonomi yang Selaras dengan Kebutuhan Industri, di Kampus Universitas Diponegoro (Undip), Semarang Jumat, (4/6).
Purnomo menyampaikan bahwa banyak kasus di masa lalu yang akhirnya membawa negara berhadapan dengan tuntutan pengadilan karena pemerintah terlibat dalam pengelolaan kontrak.
“Saya mengingatkan agar kita tidak melupakan sejarah karena ia adalah guru yang baik, yang dapat kita jadikan pelajaran untuk membuat masa depan lebih baik,” ujarnya.
Menurutnya, bentuk BP MIGAS (cikal bakal SKK Migas) yang lahir tahun 2001 sebetulnya cukup ideal karena merupakan lembaga independen, tidak termasuk dalam eksekutif dan bukan bagian dari BUMN yang menjalankan bisnis migas.
Ini baik untuk semua pihak, termasuk PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang setara dengan KKKS, dapat berkembang dan labanya naik. BP MIGAS pun kemudian bisa mengawal industri hulu migas dengan baik, terbukti banyak proyek yang berhasil dilahirkan, misalnya Tangguh Train 1 sampai 3, juga pengembangan Lapangan Cepu yang kini memasok 30% produksi nasional, paparnya.
Purnomo mengakui bahwa ketika menjadi Menteri ESDM, usaha mengawal kelahiran BP MIGAS bukan perkara sederhana karena terjadi banyak pihak yang berkepentingan. Proses tarik-tarikan kepentingan terlihat masih terjadi ketika lembaga itu sudah lahir, terbukti 4 (empat) kali lembaga itu menghadapi judicial review yaitu di tahun 2003, 2004, 2007 dan yang terakhir di tahun 2012.
“Yang terakhir berhasil membuat BP MIGAS dibubarkan sehingga kemudian lahir SKK Migas yang hanya didasarkan pada Kepres. Ini sebetulnya aneh karena lembaga ini sudah berjalan selama 10 tahun dan punya prestasi. Dibubarkan oleh pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan hulu migas,” kata Purnomo.
Retno Saraswati, Dekan Fakultas Hukum Undip, menyoroti langkah pemerintah yang belum juga menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 untuk membentuk badan pengelola hulu migas baru, padahal sudah berjalan 10 tahun.
“Apa yang menjadi putusan MK ini seharusnya sudah final. Oleh karena itu harus segera ditindaklanjuti karena kita butuh kepastian dan kepatuhan hukum,” ujarnya.
Untuk menarik investor hulu migas, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain di dunia.
Selain harus memiliki tata kelola yang baik, syarat lain yang dibutuhkan adalah perlunya skema kontrak yang fleksible namun memiliki berkepastian hukum, serta perizinan yang sederhana agar tata kelola hulu migas tidak birokratis dan efisien.
Ali Nasir, Praktisi Hukum Migas, mengungkapkan bahwa masalah kepastian hukum menjadi sorotan investor karena bisnis hulu migas adalah bisnis jangka panjang.
“Sebelum membuat keputusan investasi, calon investor harus bisa membuat kalkulasi keekonomian suatu kegiatan atau proyek,” ujarnya.
Oleh karena itu pihaknya berharap, rencana DPR dan pemerintah membahas UU Migas baru harus memiliki tujuan untuk menarik investor. Salah satu yang harus diperhatikan adalah sanctity of contract di segala hal, termasuk pada rezim pajak yang diterapkan (assume and discharge), sehingga investor bisa mendapat kepastian.
“Satu hal lagi, agar dipastikan perselisihan tidak masuk ke ranah pidana. Ini membuat investor ketakutan karena terkait kepastian hukum,” kata Ali.(RA)
Sumber : https://www.dunia-energi.com/indonesia-butuh-badan-pengelola-hulu-migas-independen-berdasarkan-uu/